PENAJA

Wednesday 1 August 2012

Black September atau Peristiwa Munich


Pembantaian Munich yang terkenal dengan sebutan Black September ( September Hitam ) adalah peristiwa terorisme saat Olimpiade Munich 1972. Pada 5 September 1972, kelompok Black September yang terdiri dari orang-orang Palestina menyandera dan membunuh 11 atlet Israel dan seorang polisi. Dalam upaya penyelamatan yang dilaksanakan, seluruh militan terbunuh kecuali tiga di antaranya.

Pada tanggal 4 september 1972, kelompok radikal Black September melancarkan aksi teror bersandi operasi "Berim Ikrit". Sasarannya perkampungan atlet Israel peserta Olimpiade Munich. Asrama atlet Israel itu bersebelahan dengan asrama atlet Hong Kong dan Uruguay . Asrama itu terletak dekat bandara Furstenfeldburch. Perkampungan Olimpiade, Apartemen Connolystrasse, Blok 31 Munchen. Penculikan atas sebelas atlet Israel ini dilangsungkan saat kesemuanya usai bersuka ria menikmati suatu malam pada 4 September 1972 di tempat peristirahatan mereka. Pukul 04.30 dini hari ketika para olahragawan ini tengah tertidur lelap, Jam 4.00 pagi, 8 anggota Black September memanjat pagar setinggi 1.8 meter di Kusoczinskidamm , hanya 500 meter dari asrama atlet Israel. 
Anggota Black September masuk ke perkampungan atlet Israel dengan mudah karena keamanan yang begitu rendah. Kepala keamananan Oliampiade Munich berpendapat tidak memperlihatkan senjata di komplek olimpiade agar tidak terkesan kurang ramah dan tidak aman. Namun akibat banyak penonton dan non atlit yang masuk ke area pemukiman atlit dengan memanjat pagar dengan mudahnya tanpa ada petugas keamanan.

Seorang ahli terorisme dan keamananan dari AS setelah melakukan penyelidikan, menyatakan bahwa kenapa kelompok Black September dengan mudahnya masuk dan mengetahui letak kamar atlit Israel diperkampungan Olimpiade yang rumit ini? ternyata sebelumnya 2 orang dari kelompok Black September adalah pegawai di perkampungan olimpiade ini. Bahkan konon ada yang mengatakan kelompok Black September masuk ke perkampungan atlit karena bantuan dari atlet Amerika walau belum jelas kebenaran.

Adalah pegulat Israel Yossef Gutfreund yang awalnya mendengar bunyi mencurigakan di apartemennya ketika ia memeriksanya ia mendapati pintu apartemennya berusaha dibuka sebelum akhirnya ia mulai berteriak memerintahkan teman-temannya yang lain untuk menyelamatkan diri mereka seraya mendorong tubuh kekarnya menahan laju pintu dari tekanan para anggota Black September. Dua orang atlet Israel berhasil meloloskan diri, sementara delapan lainnya memilih untuk bersembunyi. Seorang atlet angkat berat, Yossef Romano berusaha merebut senjata sang penyelusup, tragisnya ia lalu tertembak dan tewas seketika layaknya nasib Mosche Weinberg, pelatih gulat yang juga tewas saat hendak menyerang anggota penyelusup lainnya dengan pisau buah. 
Mayat dua atlit Israel ini dibuang ditengah-tengah perkampungan atlit yang tentu saja ditemukan oleh polisi yang sedang patroli dan langsung menyalakan alarm.Setelah menawan sembilan atlet Israel pihak Black September menuntut dibebaskannya 234 tawanan Palestina dari penjara Israel dan dua pemimpin kelompok kiri Ulrike Meinhof dan Andreas Baader dari penjara Jerman Barat dan rute aman menuju Mesir, namun untuk pembebasan tahanan Palestina, pemerintah Israel menolak mentah-mentah permintaan itu kecuali untuk rute aman tujuan Kairo yang disanggupi pihak Jerman.

Menteri Bavaria yang juga pengurus Perkampungan Olimpiade menawarkan diri sebagai ganti tetapi tawaran ditolak. Kanselir Jerman Barat Willy Brandt menghubungi Perdana Menteri Israel Golda Meir melalui telepon. Israel enggan memenuhi tuntutan tersebut. Jerman sendiri bersedia membebaskan dua pemimpin kelompok kiri itu yaitu Ulrike Meinhof dan Andreas Baader. Akhirnya 5 anggota Black September dan 9 tawanan di bawa dengan helikopter ke Bandara Furstenfeldbruck menuju Jet 727 yang menunggu. pemerintah Jerman hendak menjebak komplotan tersebut di Bandara Furstenfeldbruck. Di bandara inilah komplotan tersebut minta disiapkan sebuah pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Kairo, Mesir. Jet gadungan pun disiapkan dengan 5-6 personil polisi yang disamarkan sebagai kru pesawat dan dengan mengerahkan penembak jitu, pihak Jerman mengetahui sekiranya ada lima orang penyandera yang tidak menggunakan pengaman senjata apapun.

Sampai sejauh ini semuanya lancar hingga helikopter lepas landas membawa para penyandera beserta tawanannya. Namun, upaya pembebasan menjadi kacau. Malapetaka bermula ketika polisi didalam pesawat Jet 727 menarik diri dari misi ini karena mereka berpendapat aksi mereka hanyalah aksi bunuh diri seandainya pesawat diledakkan mereka akan hancur berkeping-keping. Selain itu dua petugas kepolisian yang berada diluar mulai bertindak gegabah dan memicu serangkaian insiden penembakan antara pihak kepolisian Jerman Barat termasuk para penembak jitu dengan para penyandera yang berujung atas kematian tragis bagi kedua belah pihak hingga melibatkan para atlet yang disandera. Drama penyanderaan 21 jam itu berakhir dengan peledakan helikopter hingga mengkibatkan kematian semua sandera. Dan penembakan atas Jamal Al Gasshey. Sebelas atlet Israel, tiga anggota Black September dan seorang polisi Jerman Barat tewas.

Kesebelas atlet Israel yang tewas itu adalah:

1. Yosses Gutfreud (atlet gulat)

2. Mosche Weinberg (pelatih gulat)

3. Yossef Romano (atlet angkat berat)

4. David Mark Berger

5. Mark Slavin

6. Jacov Springer (wasit angkat besi)

7. Andre Spitzer (pemain anggar)

8. Kehat Shorr

9. Elieszer Halfin

10. Amitzur Shapira

11. Zeev Friedman.

Tragedi berdarah ini meninggalkan luka bagi banyak pihak. Tak seorangpun sandera berhasil diselamatkan. Hanya dua atlet Israel yang berhasil melarikan diri saat penyanderaan, mereka adalah:

1. Tuvia Sokolovsky - atlet angkat berat, dan

2. Gad Zobari.

Beberapa kesalahan yang dilakukan pihak keamanan Jerman Barat

Kesalahan Pertama

Kesalahan pertama yang mendasar adalah kesiapan kepolisian Jerman dalam menghadapi ancaman terorisme, mereka tidak terlatih dan tidak pernah dilatihkan dalam menangani skenario serangan terorisme dan event sebesar Olimpiade. Bahkan polisi-polisi yang menangani aksi ini ternyata diambil dari polisi-polisi yang bertugas dijalan. Penyelenggara Olimpiade menganggap pesta Olahraga ini akan aman - aman saja, jadi mereka menempatkan petugas keamanan sekedarnya, terbukti para teroris “Black September” ini dapat melompati pagar perkampungan atlet tanpa diketahui pihak keamanan, sebenarnya kontingen Israel sempat protes mengenai “lemahnya” penjagaan pihak keamanan, namun tidak ditanggapi panitia penyelenggara.

Sayangnya konstitusi Jerman pasca perang dunia II mengatakan bahwa militer tidak bisa membantu Kepolisian dalam “masa damai”, jadi pada saat itu kepolisian Jerman bingung untuk menghadapi hal ini, padahal militer Jerman sangat terkenal kehandalan pada waktu itu. Karena Israel menolak untuk bernegoisasi bahkan menolak mentah-mentah dengan teroris, terutama untuk menyelamatkan para atlet, maka tidak ada pilihan lain bagi Kepala Kepolisian Munich Manfred Scheiber untuk melakukan “operasi pembebasan teroris”. Namun ternyata itu sangat fatal karena anggota kepolisian Munich tidak pernah dilatih untuk membebaskan sandera teroris dan memang tidak ada unit anti teror. Jadilah dibuatlah dengan “terpaksa” sebuah operasi yang dinamakan “Operasi Sunshine” sebagai jawaban dari aksi teroris tersebut.

Kesalahan Kedua


Ketidak profesionalan polisi Jermas sangat jelas terlihat

Ketidak profesionalan Kepolisian Jerman jelas terlihat ketika kepolisian menyerbu dari atas atap perkampungan atlit Israel terlihat secara "live TV" dan ditonton juga oleh pihak penyandera. Kesalahan fatal ini karena kepolisian tidak berkoordinasi dengan media terutama televisi, operasi ini diliput secara “live” oleh televisi. Masalahnya para teroris melihat langsung dari TV upaya penyerbuan tersebut. Begitu pihak kepolisian sadar bahwa upaya penyerbuan telah diketahui melalui “live TV” oleh penyandera, maka segera mereka membatalkan penyerbuan, karena pasti akan timbul korban dari Polisi. Lagi pula terlihat jelas bahwa polisi Jerman sangat tidak terlatih  dari cara turun dari tembok dan cara memegang senjata yang tidak terlatih.

Akhirnya karena tidak bisa dilakukan “penyerbuan” maka kepala Kepolisan Munich melakukan plan “B” dengan membawa para penyadera dan tawanannya menggunakan helikopter menuju ke Bandara Furstenfeldbruck menuju Jet 727 yang menunggu. Rencananya Polisi hendak menjebak komplotan tersebut di Bandara Furstenfeldbruck. Di bandara inilah komplotan tersebut minta disiapkan sebuah pesawat yang akan menerbangkan mereka ke Kairo, Mesir.

Jet Palsu pun disiapkan dengan 6 personil polisi yang disamarkan sebagai kru pesawat dan dengan mengerahkan Sniper, pihak Kepolisian mendapat informasi dari pengamatan pelaku teroris berjumlah 5 orang dengan tawanan 8 orang. Di lapangan udara telah disetting lokasi pendaratan Helikopter, 3 sniper ditempatkan di depan helikopter pada atas gedung dan 2 orang sniper ditempatkan dibelakang helikopter di bersembunyi di belakang sebuah truk dan satu lagi dibalik sebuah gundukan. Rencananya 2 orang dari teroris akan naik ke Pesawat dan pada saat itulah polisi yang menyamar menjadi crew pesawat akan “melumpuhkan” teroris tersebut, pada saat penembakan diatas pesawat tersebut akan menjadi “kode” bagi Sniper untuk memulai tembakan mematikan teroris yang berada di helikopter.

Rencana penempatan anggota Polisi di bandara.

Bahkan untuk senjata para sniper adalah senjata H&K G3 yang sebenernya adalah senapan pasukan tempur. Senapan ini bahkan tidak dilengkapi scope, hanya mengandalkan iron-sight dengan tingkat akurasinya yang rendah dan hanya cocok dipakai untuk tembakan beruntun, padahal pada saat itu Jerman sudah mempunyai senjata sniper yang cukup mumpuni.

Kesalahan ketiga

Pada pengangkutan teroris melalui helikopter dari perkampungan Atlet menuju Bandara, barulah diketahui polisi bahwa teroris bukan 5 orang melainkan 8 orang. Hal inilah yang membuat berantakan rencana pembebasan sandera, namun ada yang lebih fatal lagi, ternyata tidak ada komunikasi diantara polisi yang berada di bandara, mereka sama sekali tidak di lengkapi dengan radio komunikasi.

Kesalahan Keempat

Sniper berada pada garis lurus
Ternyata pilot helikopter tidak di “brief” terlebih dahulu tempat pendaratan di Bandara, jadi mereka mendarat meleset jauh dari rencana semula. Para petugas Sniper menjadi kesulitan lagi untuk melakukan penembakan tepat sasaran, karena sekarang mereka posisinya sejajar dengan rekan mereka yang bersembunyi di belakang helikopter akibatnya apabila terjadi tembak-menembak maka akan membahayakan para sniper tersebut karena antara sniper akan saling tembak.

Kesalahan Kelima

Para crew anggota polisi yang berada di pesawat ternyata meninggalkan pesawat sebelum helikopter datang, mereka ternyata “tidak mampu” melaksanakan missi ini, dan memilih “mengundurkan diri” dengan membatalkan missi secara sepihak, suatu gambaran ketidakprofesionalan mereka.

Kesalahan Keenam 
Setelah helikopter diledakkan
Pada saat 2 orang teroris turun dari helikopter dan mengecek kedalam pesawat, mereka mendapati pesawat telah kosong, lalu mereka kembali berlari menuju helikopter, Salah satu sniper yang berada di belakang Helikopter melihat mereka berlari kemudian melepaskan tembakan, bagi Sniper yang berada diatas gedung dipikir itu adalah kode tembakan dari dalam pesawat bahwa 2 teroris itu dilumpuhkan, malah terjadi tembak menembak antara mereka, para tawanan yang ada di dalam Helikopter di lempar Granat oleh penyandera dan mereka semua tewas… Drama penyanderaan 21 jam itupun berakhir . Sebelas atlet Israel, lima anggota Black September dan seorang polisi Jerman Barat tewas, sedangkan 3 sisa anggota Black September tertangkap.

Aksi teror lainnya dari Black September selain insiden Munich antara lain: • 28 November 1971, empat anggotanya melakukan penembakan atas perdana menteri Yordania, Wasfi Al-Tal.

• Desember 1971, Penyerangan terhadap Zeid Al Rifei, Duta Besar Yordania yang bertugas di London.

• Februari 1972, penyabotasean atas instalasi listrik Jerman serta lahan gas di Belanda.

• Mei 1972, Pembajakan penerbangan Belgia, Sabena 572 yang bertolak dari Viena menuju Lod.

• 10 September 1972, kelompok ini membajak sebuah pesawat Boeing 707 Lufthansa dengan rute Ankara-Beirut untuk dibarter dengan anggotanya yang tertangkap dalam insiden Olimpiade. Walau diprotes Israel, pemerintah Jerman Barat tak punya pilihan lain demi keselamatan seisi pesawat.

• 22 Januari 1973, Operasi Black September melakukan pembalasan atas terbunuhnya para pemimpin mereka dengan membunuh salah satu agen Mossad di Madrid, Baruch Cohen.

• 1 Maret 1973, serangan pada kantor kedutaan Arab Saudi di Khartoum yang menewaskan dua perwakilan kedubes Amerika dan seorang pejabat berwenang Belgia.

• 9 April 1973, tiga anggota Operasi Black September berupaya membajak pesawat terbang Arkia milik Israel di bandara Nikosia. Aksi ini digagalkan satpam pesawat. Dua anggota Black September dan seorang polisi Siprus tewas dalam kontak senjata. Hanya dalam beberapa jam kemudian, rumah dubes Israel di Nikosiadiledakkan meski kosong.

Aksi Mossad

Menanggapi aksi tersebut, Israel kemudian memikirkan cara agar peristiwa ini tidak terulang lagi. Perdana Menteri Israel, Golda Meir kemudian membentuk Komite X, yang hanya terdiri dari beberapa pejabat pemerintah yang bertugas untuk merundingkan respon Israel atas peristiwa September Hitam khususnya Insiden München. Dalam komite ini termasuk di dalamnya sang perdana menteri sendiri, Menteri Pertahanan Israel yakni, Moshe Dayan sebagai kepala komite, dan Zvi Damir yang saat itu menjabat sebagai direktur Mossad. Setelah melewati beberapa perundingan dalam rapat komite, komite ini kemudian sampai pada kesimpulan bahwa Israel harus mencegah hal yang sama terjadi di masa depan dengan cara yang dibutuhkan. Kesimpulan cara yang dibutuhkan pun kemudian sampai pada kesimpulan bahwa semua yang terlibat dalam operasi September Hitam harus dibunuh.

Markas Besar Angkatan Bersenjata Israel kemudian membentuk tim khusus yang beranggotakan personel terbaik Mossad dan A’man (intelijen militer). Mossad sendiri kemudian mengaktifkan unit pembunuh mereka bernama, Kidon atau yang lebih dikenal dengan unit bayonet. Unit ini bertugas untuk melacak siapa saja yang terlibat dalam operasi September Hitam, kemudian membunuh semua yang terlibat dalam Operasi mereka yang dinamakan Operasi Murka Tuhan.

Operasi Murka Tuhan tidak hanya ditujukan untuk membunuh mereka yang menculik dan membunuh para atlet Israel, tetapi hingga para dalang peristiwa September Hitam pun diburu dan dibunuh. Berita resmi dari berbagai negara melaporkan bahwa sekitar puluhan orang yang terlibat dengan operasi September Hitam di Eropa telah diburu dan berhasil dibunuh. Desas-desus justru mengatakan bahwa sebenarnya korban yang dibunuh Mossad mencapai ratusan orang karena Mossad juga membunuh keluarga mereka yang terlibat dengan operasi September Hitam bahkan hingga mereka yang hanya dicurigai terlibat sekalipun. Hasilnya, Mossad menorehkan nama yang berbeda dari antara agen rahasia negara lainnya, mereka disegani, diperhitungkan, ditakuti, tapi karena kekejamannya.

Berikut adalah aksi-aksi yang dilakukan oleh Mossad dalam Operasi Murka Tuhan:


Pembunuhan pertama terjadi pada 16 Oktober 1972. Saat itu dua agen Israel telah menunggu seorang pejabat Palestina bernama Wael Abdel Zwaiter selesai dari makan malamnya. Dua agen tersebut menunggu hanya sekitar 30 menit di gedung apartemen Abdel Zwaiter di Roma. Begitu Abdel Zwaiter pulang dari makan malamnya, 11 tembakan langsung menghujani tubuh sang pejabat yang dituduh Mossad terlibat dalam Operasi September Hitam.

Target kedua Mossad adalah Dr. Mahmoud Hamshari, yang merupakan perwakilan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) di Perancis. Seorang agen Mossad menyamar sebagai jurnalis untuk membuat Hamshari keluar sebentar dari kamarnya agar memungkinkan agen Mossad lainnya memasang sebuah bom telepon di dalam telepon kamar Hamshari. Pada malam hari tanggal 8 Desember 1972, Hamshari mengangkat sebuah telepon dari seorang jurnalis yang baru saja bertemu dengannya bom meledak menewaskan Dr. Mahmoud Hamshari. Mossad percaya bahwa Dr. Mahmoud Hamshari adalah pemimpin Operasi September Hitam di Perancis.

Pada malam hari di tanggal 24 Januari 1973, Hussein Al Bashir (Hussein Abad Al Chir) baru saja mematikan lampu kamar hotel dimana dia menginap yaitu Olympic Hotel di Nicosia. Kurang dari 3 detik kemudian sebuah bom yang dipasang dibawah tempat tidurnya meledak dan memporak-porandakan kamarnya termasuk orangnya. Al Bashir pun tewas. Mossad menganggapnya sebagai pemimpin Operasi September Hitam di Siprus.

Pada tanggal 6 April 1973 di Paris, ketika Dr. Basil Al-Kubaissi (seorang profesor hukum di Universitas Amerika Beirut) dicurigai oleh Mossad sebagai penyedia logistik terhadap operasi September Hitam, Mossad mengirim satu orang agennya untuk menghabisi target. Al-Kubaissi kemudian ditemukan tewas ketika baru pulang dari makan malamnya. Dia tewas dengan 12 tembakan di tubuhnya

Ali Hassan Salameh

Mossad menganggap Ali Hassan Salameh yang mempunyai julukan Pangeran Merah sebagai dalang dari Insiden di Munchen. Pada November 1978, seorang agen Mossad mengaku sebagai Erika Chambers memasuki lebanon dengan paspor Inggris palsu, dan menyewa sebuah apartemen di Rue Verdun. Beberapa saat kemudian para agen Mossad lainnya mulai datang berkumpul di apartemen tersebut, termasuk dengan dua agen Mossad lainnya yang juga menggunakan nama samaran Roland Petrus dan Scriver Kolbergyang menggunakan paspor Inggris dan Kanada yang juga palsu semuanya. Setelah tiga agen sudah terkumpul, strategi pun disusun. Bahan peledak pun disiapkan dan dikemas dalam plastik yang kemudian akan diangkut sebuah mobil Volkswagen. Drama pembunuhan Ali Hassan Salameh akan direncanakan dengan sebuah bom mobil yang akan diparkirkan dimana mobil yang ditumpangi Ali Hassan Salameh akan melintas. Pada pukul 3.35 di tanggal 22 Januari 1979, Ali Hassan Salameh tewas akibat sebuah bom mobil yang didalangi hanya oleh 3 agen Mossad.

Serbuan Mossad dan Pasukan Komando Israel

Selain membunuh orang-orang yang terlibat dengan Black September, Israel juga menggelar operasi rahasia di Libanon dengan sasaran di 4 lokasi berbeda yaitu markas kelompok DFLP dan kompleks pelatihan Al Fatah di Sidon, pabrik senjata dan amunisi PLO di Al Qusay (kawasan Sabra) dan sasaran utama kompleks kediaman para pentolan Black September di kawasan mewah Ramlat El Bida. Dalam operasi yang bersandi Mivtza Aviv Ne’urim alias 'Operasi awal musim semi' ini anggota Mossad dan pasukan komando Israel berhasil membunuh 3 pentolan Black September yaitu Muhammed Yusuf el Najer alias Abu Yusuf beserta istrinya, Kemal Nasser dan Kemal Adwan. Pentolan Black September lainnya, Muhammed Boudia lolos dari maut karena sedang pergi ke Suriah. Mossad juga menghancurkan markas DFLP, gedung berlantai tujuh itu diledakkan setelah seluruh dokumennya dikuras. Dalam serbuan selama 30 menit tersebut tercatat sedikitnya 200 orang gerilyawan Palestina tewas, selain ratusan ton senjata berhasil dihancurkan. Selain tentu saja ribuan lembar dokumen penting yang segera menjadi santapan pihak intelijen Israel dan Barat.

Abud Daud

Militan Palestina yang mendalangi serangan mematikan terhadap atlit Israel pada Olimpiade Munich tahun 1972, Abu Daud - yang tidak ambil bagian dalam serangan mematikan itu - mengatakan ia tidak secara langsung bertanggung jawab atas kematian atlit Israel."Saya tidak membunuh siapapun dan saya tidak memberikan perintah membunuh ," kata Abu Daud kepada Reuters tahun 1999 setelah penerbitan memoar dirinya di mana ia membongkar perencanaan penculikan itu.

Abu Daud mengatakan dalam bukunya bahwa para gerilyawan membunuh dua orang Israel pada awal operasi karena mereka menolak kooperatif sewaktu pasukan komando menyerbu mereka di tempat mereka tinggal selama Olimpiade. Kemudian, Abu Daud mengatakan, polisi Jerman datang dan melakukan penembakan kearah para gerilyawan dan sandera mereka di bandara setelah berjanji untuk membiarkan mereka pergi. Ketika asap hitam yang ditembakkan polisi hilang, sembilan sandera dan lima gerilyawan ditemukan mati di aspal bandara. Abu Daud mentakan bahwa dirinya menyesal bahwa warga Palestina telah menempuh aksi kekerasan karena pembunuhan itu menjadi bumerang, membuat kemarahan publik daripada simpati untuk perjuangan Palestina. Abu Daud telah berulang kali menegaskan bahwa serangan Munich adalah bukan aksi teroris. "Tujuan kami bukan sipil. Kami menargetkan atlet yang pada kenyataannya adalah prajurit dan tentara Israel," katanya. "Setiap orang di Israel adalah tentara cadangan," katanya dalam sebuah wawancara.

Abud Daud dimakamkan pada hari Sabtu di Pemakaman Syuhada di kamp pengungsi Palestina Yarmuk di dekat Damaskus. Pemakamannya dihadiri oleh para pejabat dari berbagai kelompok Palestina, termasuk pimpinan faksi Fatah Presiden Mahmoud Abbas.

No comments:

Post a Comment